Jumat, 23 Januari 2015

PENGEMBANGAN KURIKULUM

BAB 1
Pengertian, Peranan, dan Fungsi Kurikulum

   A.    Pengertian Kurikulum  

Pengertian kurikulum dapat ditinjau dari dua sisi yang berbeda, yakni menurut pandangan lama dan pandangan baru  
 Pandangan lama atau sering juga disebut pandangan tradisional, merumuskan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid untuk memperoleh ijazah. 

Pengertian tadi mempunyai implikasi sebagai berikut :

  • Kurikulum terdiri atas sejumlah mata pelajaran. Mata pelajaran sendiri pada hakekatnya adalah pengalaman nenek moyang dimasa lampau. 
  • Mata pelajaran adalah sejumlah informasi atau pengetahuan , sehingga penyampaian mata pelajaran pada siswa akan membentuk mereka menjadi manusia yang mempunyai kecerdasan berpikir 
  • Mata pelajaran menggambarkan kebudayaan masa lampau. Adapun pengajaran berarti penyampaian kebudayaan kepada generasi muda. 
  • Tujuan mempelajari mata pelajaran adalah untuk memperoleh ijazah 
  • Adanya aspek keharusan bagi setiap siswa untuk mempelajari mata pelajaran yang sama.
  •  System penyampaian yang digunakan oleh guru adalah system penuangan.
Romine (1954) berpendapat :
“ Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experinces which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not” 

Implikasi pendapat diatas adalah sebagai berikut  
  • Tafsiran tentang kurikulum bersifat luas, karena kurikulum bukan hanya terdiri atas mata pelajaran (courses), tetapi meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah. 
  • Sesuai dengan pandangan ini, berbagai kegiatan diluar kelas (ekstrakurikuler) sudah tercakup dalam pengertian kurikulum. 
  • Pelaksanaan kurikulum tidak hanya dibatasi pada keempat dinding kelas saja, melainkan dilaksanakan baik di dalam maupun di luar kelas. 
  • Sistem penyampaian yang dipergunakan oleh guru disesuaikan dengan kegiatan atau pengelaman yang akan disampaikan. 
  • Tujuan pendidikan bukanlah untuk menyampaikan mata pelajaran atau bidang pengetahuan yang tersusun, melainkan pembentukan pribadi anak dan belajar cara hidup di dalam masyrakat.   
1. Kurikulum sebagai Suatu Program Kegiatan yang Terencana
 
Berdasarkan pandangan komprehensif terhadap setiap kegiatan yang direncanakan untuk dialami seluruh siswa, kurikulum berupaya menggabungkan ruang lingkup, rangkaian, interprestasi, keseimbangan subject matter, teknik mengajar, dan hal lain yang dapat direncanakan sebelumnya (Saylor, Alexander, dan Lewis, 1986). Pada hakikatnya, kurikulum sebagai suatu program kegiatan terencana (program of planned activities) memiliki rentang yang cukup luas, hingga membentuk suatu pandangan yang menyeluruh. Di suatu pihak, kurikulum dipandang sebagai suatu dokumen tertulis (Beauchamp, 1981) dan di lain pihak, kurikulum dipandang sebagai rencana tidak tertulis yang terdapat dalam pikiran pihak pendidik ( Taylor,1970). 

2. Kurikulum sebagai Hasil Belajar yang Diharapkan

(Jhonson, 1977 dan Ponser, 1982) menyatakan bahwa kurikulum seharusnya tidak dipandang sebagai aktifitas, tetapi difokuskan secara langsung pada berbagai hasil belajar yang diharapkan (intended learning outcomes). Kajian ini menekankan perubahan cara padang kurikulum, dari kurikulum sebagai alat (means) menjadi kurikulum sebagai tujuan atau akhir yang akan dicapai (ends). Salah satu alasan utama adalah karena hasil belajar yang diharapkan merupakan dasar bagi perencanaan dan perumusan berbagai tujuan kegiatan pembelajaran.
Dalam konteks ini, tujuan pembelajaran tidak lagi dirumuskan dalam retorika global seperti “ Siswa memiliki apresiasi terhadap warisan budaya”, tetapi dirumuskan dalam serangkaian hasil belajar yang terstruktur. Artinya, setiap kegiatan, pengajaran, desain lingkungan, dan sebagainya, difungsikan sedemikian rupa sehingga menjadi saling mendukung untuk mencapai tujuan akhir (ends) yang telah di tetapkan sebelumnya. Dalam pandangan ini, hsil belajar yang diharapkan tersebut tidak dapat disamakan dengan kurikulum itu sendiri, tetapi lebih merupakan dunia (realms) kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan ( hasil belajar) yang diharapkan.

     3. Kurikulum sebagai Reproduksi Kultural ( Cultural Reproduction)

Sebagian ahli pendidikan berpandangan bahwa kurikulum dalam setiap masyarakat atau budaya seharusnya menjadi refeleksi dari budaya masyarakat itu sendiri. Sekolah bertugas memproduksi pengetahuan dan nilai-nilai yang penting bagi generasi penerus. Masyarakat, Negara atau bangsa bertanggung jawab mengidentifikasi keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan berbagai apresiasi yang akan diajarkan. Sementara itu pihak pendidik professional bertanggung jawab untuk melihat apakah skill, knowledge, dan apresiasi tersebut sudah di transformasikan ke dalam kurikulum yang dapat disampaikan kepada anak-anak dan generasi muda.

     4. Kurikulum sebagai Kumpulan Tugas dan Konsep Diskrit 

    Pandangan ini berpendapat bahwa kurikulum merupakan satu kumpulan tugas dan konsep (discrete tasks and concept) yang harus dikuasai siswa. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa penguasan tugas-tugas yang saling bersifat diskrit (berdiri sendiri) tersebut adalah untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah di tetapkan sebelumnya.

     5. Kurikulum sebagai Agenda Rekonstruksi Sosial

Sejauh mana keberanian sekolah membangun suatu tatanan social yang baru ( Dare the school build new social order)? Pertanyaan ini merupakan judul karya George S. Counts (1932) yang dipandang sebagai seorang perintis rekonstruksionisme social dalam pendidikan. 

      6. Kurikulum sebagai Currere

Sebagai pengganti interprestasi dari etimologi arena pacu atau lomba kurikulum (race course), currere merujuk pada jalannya lomba dan menekankan masing-masing kapasitas individu untuk merekonseptualisasi otobiografinya sendiri. Hal ini di tegaskan oleh Schubert (1986). Pemikiran Schubert di dukung oleh Pinar dan Grument (1976) yang mengilustrasikan bahwa masing-masing individu berusaha menemukan pengertian (meaning) di tengah-tengah berbagai peristiwa terakhir yang dialaminya, kemudian bergerak secara historis kedalam pengalamannya sendiri di masa lampau untuk memulihkan dan membentuk kembali pengalaman semula (to recover and reconstitute the origins), serta membayangkan dan menciptakan berbagai arah yang saling bergantung dengan subdivisi-subdivisi pendidikan lainnya. 
Perspektif ekologis perlu di kembangkan dalam konteks ini, yakni makna dari segala sesuatu harus dipandang secara kontinu berikut interdependensinya dengan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhinya. Dengan demikian, karakter kurikulum membentuk dan dibentuk oleh berbagai hubungan eksternal dengan pengetahuan, perspektif dan praktik-praktik dalam domain kependidikan lainnya.
     7. Perbedaan antara Kurikulum Lama dan Kurikulum Baru

Diantara kedua pola kurikulum baru dan lama terdapat perbedaan yang cukup fundamental, antara lain sebagai berikut :
  1. Kurikulum lama berorientasi pada masa lampau, karena berisikan pengalaman-pengalaman masa lampau sedangkan kurikulum baru beorientasi pada masa sekarang, sebagai persiapan untuk masa yang akan datang. Pengajaran berdasarkan unit atau topic dari kehidupan masyarakat serta sesuai dengan minat dan kebutuhan para siswa.
  2. Kurikulum lama tidak berdasarkan filsafat pendidikan yang jelas, sulit dipahami, dan tidak ada kesatuan pendapat di antara kalangan guru tentang filsafat pendidikan yang dianut tersebut; 
  3. Kurikulum lama berdasarkan pada tujuan pendidikan yang mengutamakan perkembangan segi pengetahuan akademik dan keterampilan , dengan mengabaikan perkembangan sikap, cita-cita dan kebiasaan, dan sebagainya. ‘Belajar’ lebih ditekankan pada unsur mengingat dan latihan-latihan belaka. Sebaliknya, kurikulum baru bertujuan untuk mengembangkan keseluruhan pribadi siswa. ‘Belajar’ bukan untuk memperoleh ijazah melainkan agar mampu hidup di dalam masyrakat 
  4. Kurikulum lama berpusat pada mata pelajaran, yang diajarkan secara terpisah. Dalam kurikulum lama mata pelajaran hanya berfungsi sebagai alat. Sebaliknya kurikulum baru disusun berdasarkan masalah atau topic tertentu. Kurikulum disusun dalam bentuk bidang studi yang luas atau dalam bentuk integrasi dari semua mata pelajaran. 
  5. Kurikulum lama hanya didasarkan pada buku pelajaran (textbook) sebagai sumber bahan dalam mengajarkan mata pelajaran. Sebaliknya, kurikulum baru bertitik tolak dari masyrakat dalam kehidupan keseharian, yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan, minat, dan kebutuhan individu. Bahkan sumber yang paling luas adalah masyrakat itu sendiri, sedangkan buku hanya menjadi sumber pelengkap 
  6. Kurikulum lama di kembangkan oleh masing-masing guru secara perorangan. Berhasil atau tidaknya kurikulum bergantung pada guru secara perseorangan atau dengan kata lain guru merupakan suatu ‘cardinal faktor’ dalam keberhasilan kurikulum di sekolah. Di lain pihak, kurikulum baru dikembangkan oleh sekolompok guru secara bersama-sama atau oleh departemen tertentu.

B.     Peranan Kurikulum
Sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis, kurikulum mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan siswa. Jika dianilisis dari masyrakat dan kebudayaan, dengan sekolah sebagai institusi social dalam melaksanakan operasinya, maka dapat di tentukan paling tidak tiga peranan kurikulum yang sangat penting, yakni pernanan konsevatif, peranan kritis atau evaluatif, dan peranan kreatif. Ketiga perananan ini sama penting dan perlu di laksanakan secara seimbang.
1.      Peranan konservatif
Salah satu tanggung jawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan social pada generasi muda. Dengan demikian, sekolah sebagai suatu lembaga social dapat mempengaruhi dan membina tingkah laku siswa sesuai dengan berbagai nilai social yang ada dalam masyarakat, sejalan dengan peranan pendidikan sebagai suatu proses social. Ini seiring dengan hakikat pendidikan itu sendiri yang berfungsi sebagai jembatan antara para siswa selaku anak didik dengan orang dewasa, dalam suatu proses pembudayaan yang semakin berkembang menjadi lebih kompleks. Oleh karenanya, dalam kerangka ini fungsi kurikulum menjadi teramat penting, karena ikut membantu proses tersebut.
2.      Peranan Kritis atau Evaluatif
Kebudayaan senantiasa berubah dan bertambah. Sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, melainkan juga menilai dan memilih berbagai unsur kebudayaan yang akan diwariskan. Dalam hal ini, kurikulum turut aktif berpartisipasi dalam control social dan memberi penekanan pada unsur bepikir kritis. Nilai-nilai social yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dimasa mendatang dihilangkan, serta diadakan modifikasi dan perbaikan. Dengan demikian, kurikulum harus merupakan pilihan yang tepat atas dasar kriteria tertentu.
3.      Peranan Kreatif
Kurikulum berperan dalam melakukan berbagai kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam artian menciptakan dan menyusun suatu hal yang baru sesuai dengan kebutuhan masyrakat dimasa sekarang dan masa mendatang. Untuk membantu setiap individu dalam mengembangkan semua potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berpikir, kemampuan, dan keterampilan yang baru, yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
Ketiga peran kurikulum tersebut harus berjalan secara seimbang, atau dengan kata lain terdapat keharmonisan diantara ketiganya. Dengan demikianm kurikulum dapat memenuhi tuntutan waktu dan keadaan dalam membawa siswa menuju kebudayaan masa depan.
C.     Fungi Kurikulum
Disamping sebagai peranan, kurikulum juga mengemban fungsi tertentu. Alexander Inglis, dalam bukunya Principle of Secondary Education (1918),mengatakan bahwa kurikulum berfungsi sebagai fungsi penyesuaian, fungsi pengintegrasian, fungsi diferensiasi, fungsi persiapan, fungsi pemilihan, dan fungsi diagnostic.
1.      Fungsi Penyesuaian ( The Adjustive of Adaptive Function)
Setiap individu harus mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya secara menyeluruh. Karena lingkungan sendiri senantiasa bersifat dinamis, maka masung-masing individu pun harus memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara dinamis pula. Di balik itu, lingkungan pun harus disesuaikan dengan kondisi perorangan. Disinilah letak fungsi kurikulum sebagai alat pendidikan, sehingga individu bersifat well-adjust.
2.      Fungsi Integrasi ( The Integrating Function)
Kurikulum berfungsi mendidik pribadi-pribadi yang berintegrasi. Oleh karena individu sendiri merupakan bagian dari masyarakat, maka pribadi yang terintegrasi itu akan memberikan sumbangan dalam pembentukan atau pengintegrasian masyarakat
3.      Fungsi Diferensiasi( The Differentiating Function)
Pada dasarnya, diferensiasi akan mendorong orang berpikir kritis dan kreatif, sehingga akan mendorong kemajuan social dalam masyarakat.akan tetapi adanya deferensiasi tidak akan mengabaikan solidaritas social dan integrasi, karena diferensiasi juga dapat menghindarkan terjadinya stagnasi social
4.      Fungsi Persiapan ( The Propaeudeutic Function)
Kurikulum berfungsi mempersiapkan siswa agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkauan yang lebih jauh. Persiapan kemampuan belajar lebih lanjut ini sangat diperlukan, mengingat sekolah tidak mungkin memberikan semua yang diperlukan siswa atau apa pun yang menarik perhatian mereka.
5.      Fungsi Pemilihan ( The Selective Function)
Perbedaan ( diferensiasi) dan pemilihan ( selective) adalah dua hal yang sangat berkaitan. Pengakuan atas perbedaan berarti memberikan kesempatan bagi seseorang untuk memilih apa yag diinginkan dan menarik minatnya. Kedua hal tersebut merupakan kebutuhan bagi masyarakat yang menganut system demokratis. Untuk mengembangkan berbagai kebutuhan tersebut, maka kurikulum perlu disusun secara luas dan fleksibel.
6.      Fungsi Diagnostik ( The Diagnostik Function)
Salah satu segi pelayanan pendidikan adalah membantu dan mengarahkan siswa untuk mampu memahami dan menerima dirinya, sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Fungsi ini merupakan fungsi diagnostic kurikulum dan akan membimbing siswa untuk dapat berkembang secara optimal.

Berbagai fungsi kurikulum diatas dilaksanakan oleh kurikulum secara keseluruhan. Fungsi-fungsi tersebut memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan siswa, sejalan dengan arah filsafat pendidikan dan tujuan pendidikan yang diharapkan oleh institusi pendidikan yang bersangkutan.


BAB 2
STUDI LAPANGAN KURIKULUM

A.    Pendahuluan
Schubert (1986) menguraikan bayangan atau gambaran lapangan kurikulum, yang bertujuan untuk memberikan perspektif kurikulum dengan menggambarkannya sebagai suatu lapangan inkuiri dan aktivitas sosial.
Sebagai wacana pembuka, Schubert mengetengahkan pemikiran Arthur Schopenhauer (1981) yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki keterbatasan dalam visi, sehingga menghasilkan keterbatasan pandangan terhadap dunia. Selain itu, John Stuart Mill (1859), seorang tokoh kemerdekaan Inggris, yang menyatakan bahwa setiap orang harus melakukan observasi untuk melihat pikiran/nalar dan pertimbangan untuk mermal aktifitas untuk mengumpulkan bahan sebagai dasar pengambilan keputusan, diskriminasi untuk memutuskan, dan jika ia sudah mengambil keputusan, maka ia akan percaya diri dan melakukan control diri untuk menepati keputusan yang telah diambilnya secara sengaja.
Dalam konteks ini, kurikulum digambarkan sebagai bagian suatu jaringan subdivisi-subdivisi inkuiri kependidikan yang saling berintelerasi dan bergantung satu sama lain.
Penulisan tentang gambaran lapangan kurikulum lapangan kurikulum dimaksudkan untuk memberikan pemahaman tentang luasnya bidang akademik kurikulum yang digunakan selama lebih dari satu abad yang lampau, yang lebih dikenal sebagai “lapangan kurikulum” (curriculum field), meskipun masih ada sebagian pihak yang menggunakan istilah-istilah seperti field, discipline, dan field of study. Penggunaan istilah ” curriculum field” dimaksudkan untuk mewakili makna yang sama dari istilah-istilah lain yang digunakan oleh para ahli, teori, praktisi, dan peneliti, dalam bidang kurikulum.
Sehubungan dengan hal tersebut, timbul permasalahan yaitu “ Bayangan atau gambaran kurikulum yang bagaimana yang eksis dalam lapangan kurikulum?” dan “Bagaimana kurikulum berhubungan dengan berbagai sub bidang pendidikan lainnya?” serta “ Sumber-sumber apa yang tersedia yang memungkinkan seseorang dapat memasuki lapangan kurikulum?”.
Sesuai dengan uraian diatas, Schubert menganalisis topic-topik tentang gambaran atau bayangan kurikulum, kurikulum dan subdivisi-subdivisi pendidikan yang berhubungan, serta berbagai domain dalam studi kurikulum.

1.      Gambaran Karakteristik Kurikulum
Menurut Schubert (1986), survey yang dilakukan secara cepat terhadap sejumlah buku teks kurikulum akan menghasilakan sejumlah gambaran / bayangan (image) atau karakteristik yang berbeda satu sama lainnya.
Upaya menganalisis dan menguraikan seluruh image kurikulum, sebagaimana yang banyak ditemukan dalam buku-buku teks kurikulum, merupakan suatu pekerjaan besar mengingat banyaknya buku kurikulum yang ditemukan dalam masyarakat. Selain itu, para ahli menilai bahwa hasil pekerjaan semacam itu akan meragukan. Karena itu, cara-cara yang lebih efisien yang dapat dilakukan adalah dengan mengelompokan atau menetukan kategori berbagai konsepsi kurikulum yang pokok, yang disertai dengan contoh, pengertian, dan kecaman terhadap masing-masing kategori tersebut.

2.      Berbagai Domain Studi Kurikulum  
Kurikulum berada di tengah-tengah bidang studi kependidikan yang saling berhubungan. Oleh karenanya, perlu diidentifikasikan bagian-bagian yang domain dari studi kurikulum itu sendiri. Dengan adanya saling berbagi pemikiran otobiografis dengan orang lain yang juga berupaya mendapatkan pengertian yang serupa, maka kurikulum dapat membentuk kembali perspektif anak dalam kehidupan ( Grument, 1980). Selain itu, kurikulum juga menjadi suatu proses social, sat berbagai individu secara bersama-sama berusaha mendapatkan pemahaman lebih baik tentang diri mereka sendiri, orang lain dan dunia melalui rekonseptualisai yang saling menguntungkan. Pada akhirnya, dapat dinyatakan bahwa focus sentral kurikulum adalah otobiografis, sehingga kurikulum pada dasarnya merupakan interpretasi berbagai pengalaman hidup.
Dalam mengembangkan kurikulum, pihak pengembang kurikulum, khususnya guru, perlu mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan setiap image kurikulum, konsekuensi, serta implementasinya dalam situasi nyata.

3.      Kurikulum dan Berbagai Subdivisi Pendidikan yang Berhubungan
Praktek-praktek kurikulum pada dasarnya dipengaruhi oleh seluruh subdivisi kurikulum. Menurut Schubert (1896), berbagai subdivisi kurikulum tersebut adalah teori kurikulum, sejarah kurikulum, pengembangan kurikulum, desain kurikulum, implementasi kurikulum dan inkuiri kurikulum. Defenisi setiap kurikulum ini penting untuk dicermati, untuk mengarahkan praktik nyata dalam suatu subdivisi dan menghindari terjadinya tumpang-tindih praktik antarsubdivisi.

B.     Lapangan Kurikulum
Perencanaan dan pengembangan kurikulum harus didasarkan pada ide-ide umum tentang kurikulum, yang muncul berkat interaksi antara teori dan praktik.
Gambaran problematik dari pengembangan kurikulum telah menghasilkan suatu diversitas opini tentang berbagai aspek dari lapangan kurikulum tersebut, yang bahkan meliputi definisi kurikulum itu sendiri. Oleh karena banyak ahli pendidikan yang melontarkan berbagai pendapat yang berbeda, perlu dirumuskan prinsip-prinsi dasar yang diperlukan jika hendak memperbaiki kurikulum. Postulat berikut merefleksikan berbagai prinsip dasar tersebut
  1. Bidang kurikulum adalah area umum studi yang berkenaan dengan pengembangan dan implementasi tujuan (umum dan khusus) pendidikan dan alat untuk mencapainya, yang terdiri atas teori dan praktik terintegrasi 
  2. Studi dan praktik dalam bidang kurikulum menuntut pemahaman yang luas tentang fondasi (filosofis, sosiologis, dan psikologis) kurikulum, yang mendasari tindakan kurikulum tersebut 
  3. Pada praktiknya, bidang kurikulum meliputi perencanaan, pengembangan, desain instruksional, riset, perteorian, evaluasi, dan kepemimpinan, sebagai penunjang dan pendorong kurikulum 
  4. Hasil pengamatan belajar dari kurukulum adalah terencana dan tersembunyi. Proses belajar yang berkaitan dengan kurikulum tersembunyi sering kali lebih berpengaruh, karena perbuatan kita akan kehidupan sehari-hari di sekolah merefleksikan berbagai nilai actual dan keyakinan yang ada dalam masyarakat 
  5. Segala keputusan yang berkaitan dengan bidang kurikulum harus melalui serangkaian proses yang kompleks dan memiliki banyak alternatif. Hal ini diakibatkan bahwa perenanaan tanpa pengetahuan dan pertimbangan berbagai alternatif akan membatasi kesempatan belajar. 
  6. Bidang kurikulum bersifat interdisiplin dan mengandung berbagai ide bersama dari bidang pendidikan lainnya, dalam perumusan tujuannya (ends) maupun metode / alat (means) program-program sekolah. 
  7. Semua kegiatan dalam bidang kurikulum harus mengacu pada hal tertentu, yang spesifik berkenaan dengan situasi belajar. Inilah factor penting dari sekolah.

Berkaitan dengan hal diatas, berikut adalah uraian fakto-faktor yang terkait dengan lapangan kurikulum. 
  1. Organisasi Kurikulum adalah cara program sekolah, proses belajarm atau serangkaian pengalaman siswa yang direnakan dan disusun secara terstruktur 
  2. Evaluasi Kurikulum berkaitan dengan perbaikan program yang berkelanjutan dan merupakan proses yang berkelanjutan. Evaluasi kurikulum tersebut merujuk pada proses yang mempertimbangkan kecukupan (adequate dan keefektifannya 
  3. Kurikulum Tersembunyi (The hidden Curriculum) adalah kurikulum yang tidak direncanakan dan tidak termasuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi memiliki banyak hal penting bagi kehidupan siswa. 
  4. Kurikulum Luar Sekolah ( Out of School Currikulum) adalah berbagai hal dari luar sekolah yang dapat di pelajari oleh siswa, misalnya yang bersumber dari berbagai media informasi, peristiwa dalam struktur keluarga, serta hubungan social dalam masyarakat dan kelompok social lainnya. 
  5. Perencanaan Kurikulum adalah proses komprehensif ketika pihak yang terkait merumuskan tujuan dari pendidikan, bagaiman tujuan tersebut dilakukan melalui situasi belajar-mengajar dengan mempertimbangkan kepantasan dan keefektifan tujuan (ends) dan alat ( means) belajar ( Baine 1986). 
  6. Pengembangan Kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum agar menghaasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. 
  7. Pembelajaran Kurikulum terutama berkenaan dengan desain rencana situasi belajar-mengajar yang nyata.

C.    Pembelajaran
Pembelajaran terkait dengan tujuan dan rencana kurikulum yang difokuskan pada persoalan metodologi, seperti teknik mengajar, kegiatan implementasi sumber, dan alat pengukuran yang digunakan dalam situasi belajar-mengajar yang khusus. Jadi, perencenaan kurikulum yang digunakan suatu konsep generik yang meliputi perencanaan kurikulum dan desain instruksional. Pengembangan kurikulum memberi pedoman pada desain instruksional, dan desain instruksional merujuk pada kegiatan spesifik yang terpusat pada metode belajr-mengajar.
Menurut Hamalik (2001), untuk memahami proses belajar-mengajar harus diawali dengan mengetahui lebih dulu makna atau pengertian dari mengajar dan pengajaran sebagai berikut :
  1. Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa didik atau murid di sekolah 
  2. Mengajar adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda melalui lembaga pendidikan sekolah; 
  3. Mengajar adalah usaha pengorganisasian lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagai siswa; 
  4. Mengajar atau mendidik adalah memberikan bimbingan belajar pada murid; 
  5. Mengajar  adalah kegiatan mempersiapkan siswa untuk menjadi warga Negara yang baik sesuai dengan tuntutan masyarakat; dan
  6.  Mengajar adalah suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari     
 Lebih lanjut Hamilton mengemukakan bahwa:  
  1. Pengajaran mempunyai maksud yang sama dengan kegiatan mengajar; 
  2. Pengajaran adalah interaksi belajar-mengajar sebagai suatu system; dan 
  3. Pengajaran identic dengan pendidikan
Karakteristik interaksi belajar-mengajar dalam pendekatan proses belajar-mengajar meliputi dua hal pokok yaitu : mengajar dan pembelajaran. Mengajar dalah upaya penyampaian pengetahuan kepada peserta didik yang rumusan konsepnya adalah sebagai berikut :
  1. Pembelajaran merupakan persiapan di masa depan. Sehingga sekolah berfungsi untuk mempersapkan peserta didik agar mampu hidup dalam masyarakat yang akan datang 
  2. Pembelajaran merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan, yang dilaksanakan dengan menggunakan metode imposisi, dengan cara menuangkan pengetahuan kepada siswa. Pada umumnya guru menggunakan metode “formal step” (J. herbart dalam Hamalik, 2001), yang berdasarkan atas asas asosasi dan reproduksi atas tanggapan atau kesan. Cara penyampaian pengetahuan tersebut berdasarkan ajaran dalam psikologi asosiasi. 
  3. Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan pengetahuan. Pengetahuan bersumber dari perangkat mata ajaran yang di sampaikan di sekolah. Oleh karena itu, mata ajaran tersebut meliputi berbagai pengalaman yang berasal dari orang tua di masa lalu yang berlangsung dalam kehidupan manusia yang di uraikan, disusun, serta di muat dalam buku mata pelajaran dari berbagai referensi.
  4. Guru di pandang sebagai orang yang sangat berkuasa. Peran guru dalam hal ini sangat dominan. Guru yang menentukan segala hal yang dianggap tepat untuk disajikan kepada siswa. Guru juga di pandang sebagai orang yang serba mengetahui dan serba pandai. Oleh karenanya, guru mempunyai kekuasaan dalam mempersiapkan tugas, memberikan latihan, dan menentukan peraturan maupun kemajuan tiap siswa 
  5. Siswa selalu bersikap dan bertindak pasif. Siswa hanya menerima apa yang diberikan oleh guru, bersikap sebagai pendengar, pengikut, dan pelaksana tugas. Adapun kebutuhan, minat, tujuan, abilitas, dan hal lain yang dimiliki siswa diabaikan dan tidak mendapat perhatia dari guru. 
  6. Kegiatan pembelajaran hanya berlangsung dalam kelas. Kegiatan pengajaran hanya dilaksanakan sebatas ruangan kelas saj, sedangkan pengajaran di luar kelas tidak pernah di lakukan. 
  7. Mengajar adalah pewarisan kebudayaan pada generasi mdua melalui lembaga pendidikan di sekolah. 
  8. Pengajaran dapat diartikan sebagai suatu proses pewarisan yang di lakukan melalui berbagai prosedur, yaitu pengajaran, media, hubungan pribadi, dan sebagainya. 
  9. Bahan pengajaran bersumber dari kebudayaan, yagn merupakan kumpulan warisan social dalam masyarakat.
  10. Siswa diposisikan sebagai generasi muda yang merupakan ahli waris kebudayaan 
  11. Pengajaran adalah upaya pengorganisasian lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik.
  12. Peserta didik diibaratkan sebagai organisasi yang hidup. Guru harus menjadi organisator belajar bagi siswa yang potensial tersebut, sehingga tujuan pengajran yang optimal akan tercacapi. 
2   Kajian selanjutnya memfokuskan pembahasan tentang karakteristik belajar yang harus di kenali guru dalam membelajarkan siswa, antara lain :
  1.  Kebermaknaan, dalam hal ini belajar harus lebih bermakna bagi siswa;
  2. Prasyrat, dalam artian bahan yang dipelajari siswa harus terkait dengan pengalaman prasyarat yang dimiliki siswa; 
  3. Model Belajar, dalam hal ini model yang disajikan sesuai dengan model perilaku yang dapat diamati dan ditiru siswa; 
  4. Komunikasi Terbuka, dalam artian penyajian bahan belajar ditata agar pesan-pesan yang disampaikan guru bersifat terbuka terhadap pendapat siswa; 
  5. Daya Tarik,  dalam artian bahan belajar memiliki daya tarik penyajian; 
  6. Aktif dalam Latihan, artinya berusaha mengaktifkan peran siswa dalam latihan atau praktik. 
  7. Latihan yang Terbagi, dalam artian proses latihan dilaksanakan dengan cara membagi kepada siswa dalam jangka waktu yang pendek; dan 
  8. Tekanan Instruksinoanal, yang diusahakan dengan menekankan kewajiban belajar yang di mulai dari yang kuat, tetapi lambat laun semakin melemah

D.    Kepemimpinan Kurikulum
Perencanaan dan pengembangan kurikulum melibatkan human enterprise untuk mendefenisikan berbagai kesempatan belajar yang efektif. Oleh karena itu, dituntut adanya struktur organisasi penunjang yang memfasilitasi pembuatan keputusan yang mungkin lebih profesional, peka terhadap berbagai informasi, dan terbuka terhadap ide-ide baru. Unsur-unsur ini tidak muncul dari agensi pendidikan secara spontanitas.
Kurangnya kepemimpinan, perencanaan, dan pengembangan kurikulum dapat mengakibatkan lemah dan kurang berhasilnya kurikulum. Sama halnya seperti pada berbagai bidang lain dalam arena pendidikan, perencanaan kurikulum seringkali mengalami krisis dalam hal kepemimpinan. Persepsi ini ditimbulkan dari dua masalah. Pertama . apakah pendidik memiliki pengetahuan komprehensif tentang konten dan proses dalam bidang kurikulum. Kedua, berkenan dengan jumlah sekolah yang mempekerjakan para profesional dalam posisi kepemimpinan kurikulum, seperti koordinator kurikulum, supervisor kurikulum dan sebagainya. Perencanaan dan pengembangan kurikulum yang efektif menuntut adanya kepemimpinan yang berpengaruh, dengan tugas dan wewenang sebagai berikut :
  1. Kepemimpinan kurikulum dapat muncul dari suatu kategori personel yang profesional. 
  2. Sekolah bertanggung jawab dalam memberikan dukungan personel yang memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus (spesialis) dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum., riset dan evaluasi.
  3. Personel administratif dan kepengawasan mempunya tanggung jawab utama menyediakan atau memberikan kepemimpinan dan asistensi dalam pengembangan dan implementasi kurikulum 
  4. Para pendidik (educators) mempunyai wewenang melakukan studi dan memberikan komentar terhadap kurikulum luar sekolah sebagai bagian dari tanggung jawab profesional secara keseluruhan. 
  5. Pelatihan lanjut bagi para pendidik profesional harus mencakup pengembangan pengetahuan 
  6. Sekolah (didaerah) bertanggung jawab menyediakan berbagai kesempatan bagi para pendidik untuk berkembang secara profesional , yang meliputi pengembangan staf atau pendidikan penataran, misalnya dalam bentuk lokakarya, konferensi kelompok studi, dan interaksi profesional lainnya. 
  7. Personel administratif dan kepengawasan bertanggung jawab menyediakan kondisi  yang paling memungkinkan dalam situasi belajar-mengajar. 
  8. Kepemimpinan untuk perbaikan kurikulum menuntut pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan organisasional, hubungan antar insan (human relation), dan dinamika kelompok.










BAB 3
PENDEKATAN STUDI KURIKULUM

Penggunaan suatu jenis pendekatan atau orientasi pada umumnya menentukan bentuk dan pola yang di pergunakan oleh kurikulum tersebut. Secara teoritis, menurut perkembangannya studi tentang kurikulum dapat digolongkan dalam empat teori pendekatan, yaitu pendekatan mata pelajaran, pendekatan interdisipliner, pendekatan integratif, dan pendekatan sistem. Keempat pendekatan tersebut memiliki penekanan tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan yang prinsipil. 
A.    Pendekatan Mata Pelajaran  
Pendekatan mata pelajaran bertitik tolak dari mata pelajaran (subject matter) seperti Ilmu Bumi, Sejarah, Ekonomi, Ilmu Biologi, Ilmu Kimia, Ilmu Alam, Ilmu Berhitung, Ilmu Aljabar, Menyanyi, Menggambar, Olah Raga, Pekerjaan Tangan, dan sebagainya. 
Dalam pendekatan mata pelajaran ini, terdapat system pembagian tanggung jawab di antara masing-masing guru mata pelajaran. Sekalipun seorang guru bertanggung jawab mengajar sejumlah mata pelajaran sekaligus ( seperti di Sekolah Dasar), namun guru tersebut mengajarkannya secara terpisah dan tidak di korelasikan satu dengan yang lainnya. Jenis pendekatan inilah yang mengembangkan kurikulum mata pelajaran ( subject matter curriculum atau isolated curriculum)
B.  Pendekatan Interdisipliner 
Berbagai gejala dan permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari ternyata tidak mungkin ditinjau dari satu segi saja. Setiap gejala sosial akan saling berkaitan satu dengan lainnya, baik dari segi social, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Begitu pula halnya dengan suatu peristiwa dalam masyarakat, yang akan memengaruhi berbagai kehidupan aspek lainnya.
Untuk mempelajari suatu disiplin ilmu yang telah tersusun secara sistematis dan logis, diperlukan kematangan intelektual tertentu, suatu hal yang tampaknya belum dimiliki murid-murid sekolah dasar sampai dengan Sekolah Lanjutan Atas. Dengan pendekatan mata pelajaran, para siswa disekolah tidak memiliki kesempatan untuk membahas berbagai masalah sosial dari masyarakat lingkungannya. 
Berdasarkan pertimbangan diatas, para ahli berpendapat bahwa kurikulum sekolah sebaiknya tidak disusun berdasarkan mata pelajaran yang terpisah, melainkan merupakan perpaduan sejumlah mata pelajaran yang memiliki ciri-ciri yang sama, yang menjadi suatu bidang studi (broadfield). Dewasa ini, pendekatan tersebut sering dikenal dengan nama pendekatan interdisipliner
Pendekatan iterdisipliner terdiri lagi atas tiga jenis pendekatan, yaitu pendekatan structural, pendekatan fungsional dan pendekatan daerah (interfield), yang masing-masing mempunyai pendekatan sendiri, kendatipun antara ketiganya hanya berbeda secara gradual belaka. 
Pendekatan structural bertitik tolak dari suatu struktur tertentu, yang merupakan suatu disiplin ilmu 
Pendekatan fungsional bertitik tolak dari suatu masalah tertentu dalam masyarakat atau lingkungan sekolah. Masalah yang dipilih dan akan dipelajari tersebut adalah berbagai masalah yang berfungsi dan bermakna bagi kehidupan manusia. Berdasarkan masalah tersebut, dipelajarilah aspek-aspek dari berbagai disiplin yang berada dalam suatu bidang studi yang sama, yang dinilai relevan dengan masalah yang sedang dipelajari.
  
Pendekatan daerah bertitik tolak dari pemilihan suatu daerah tertentu sebagai sbujek pelajaran. Aspek-aspek yang dipelajari tentu saja merupakan hal yang relevan dengan daerah tersebut dan berada dalam bidang studi yang sama.
Dewasa ini, jenis pendekatan interdisipliner sedang dikembangkan dalam pembinaan kurikulum di sekolah-sekolah kita dalam bentuk kurikulum berkolerasi (corralted curriculum) yang menekankan pada bidang studi, seperti yang kita kenal dalam kurikulum tahun 1975. 
C.     Pendekatan Integratif 
Pendekatan integratif, yang juga dikenal dengan nama pendekatan terpadu, bertitik tolak dari suatu keseluruhan atau kesatuan yang bermakna dan terstrukur. 
Bermakna mempunyai arti bahwa setiap suatu keseluruhan tersebut memiliki makna, arti, dan faedah tertentu. Keseluruhan tersebut bukanlah penjumlahan dari bebagai bagian, melainkan suatu totalitas yang memiliki makna tersendiri. Adapun terstruktur mempunyai asumsi bahwa setiap bagian yang ada dalam keseluruhan itu berada dan berfungsi dalam suatu struktur tertentu. Dalam konteks ini, pendidikan anak adalah pendidikan yang menyeluruh, atau dengan kata lain pendidikan dalam rangka pembentukan yang terintegritasi. Oleh karena itu, kurikulum harus disusun sedemikan rupa sehingga mampu mengembangkan pribadi yang utuh, dengan mempertimbangkan bahwa anak adalah suatu potensi yang sedang berkembang dan merupakan organisme yang hidup, yang hidup dalam masyarakat yang sedang berkmebang pula. 
Mata pelajaran atau bidang studi hanyalah sebagain factor yang memengaruhi perkembangan anak, seperti bangunan, fasilitas, tukang kebun, gambar dan sebagainya.
 Dewasa ini pendidikan terpadu banyak sekali dikembangkan. Dalam perkembangan kurikulum kita, terdapat istilah “integrated curriculum” dengan system yang mencakup pengajaran unit. Semua mata pelajararan atau bidang studi tidak terlepas atau terpisah satu dengan yang lainnya, dan tidak ada pembatas satu sama lain. 
D.    Pendekatan Sistem 
System adalah suatu totalitas yang terdiri atas sejumlah komponen atau bagian. Komponen itu saling berhubungan dan saling memengaruhi satu sama lain. Suatu komponen juga dapat merupakan sebuah sub system dari suatu system. 
Pada tingkat makro, jika kita meninjau system pendidikan, maka kurikulum sesungguhnya merupakan suatu komponen dari input instrumental. Kurikulum ditinjau dalam hubungannya dengan komponen-komponennya, antara lain tujuan, prinsip, susunan, dan system penyampaiannya 
Pendekatan system digunakan juga sebagai suatu system berpikir, bahkan system pendekatan ini dikembangkan dalam upaya pembaharuan pendidikan. Langkah-langkah yang digunakan adalah proses identifikasi dan perumusan masalah, perumusan atau hasil-hasil yang diinginkan, dan penentuan yang dinilai paling tepat melalui paper analysis atau eksperimen. Selanjutnya dilakukan kegiatan try out dan revisi, dan langkah terakhir yakni implementasi dan evaluasi. 
Dari uraian diatas maka jelaslah bahwa dalam penyusunan suatu program pendidikan dan kurikulum sangat penting untuk di tentukan lebih dahulu jenis pendekatan yang akan digunakan. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa dalam penyusunan kurikulum hanya digunakan satu jenis pendekatan saja, Karena beberapa jenis pendekatan dapat juga digunakan sekaligus, seperti yang di jumpai dalam kurikulum tahun 1975. 
BAB 4 
BERBAGAI MASALAH DALAM KURIKULUM 
Dalam proses pengembangan kurikulum, banyak sekali masalah yang di hadapi, yang memerlukan pertimbangan dan pemecahan tersendiri. Semua masalah tersebut disebabkan oleh berbagai kondisi yang ada, yang di sesuaikan dengan tuntutan dan prinsip kebutuhan yang harus di penuhi. 
Tenaga pengembang atau pihak-pihak yang terlibat pada kegiatan pengembangan kurikulum hendaknya menyadari masalah tersebut, yang dapat di kategorikan menjadi masalah umum dan masalah khusus. 
A.    Masalah Umum 
Berbagai masalah yang termasuk dalam masalah umum dapat di kelompokan menjadi delapan kelompok yaitu bidang cakupan (scope), relevansi, keseimbangan, integrasi, sekuens, kontinuitas, dan kemampuan transfer ( transfer-ability)
1. Bidang Cakupan ( Scop)
Scope atau bidang cakupan dapat di defenisikan sebagai “luas” kurikulum, yang di dalamnya mencakup berbagai topic, pengalaman belajar, aktivitas, pengorganisasian “elemen-elemen”, serta hubungan pengitegrasian dan pengorganisasian berbagai elemen tersebut, yang harus di berikan kepada siswa disekolah. 
Untuk menentukan scope tersebut,para pengembang kurikulum dihadapkan pada sejumlah permasalahan berikut.
1.      Pengorganisasian Berbagai Elemen dan hubungan antar elemen tersebut.
Menurut J. I. Goodlad, elemen scope adalah “the actual focal point for learning through which the school’s objectives are to attained”. Dari pengertian ini dapat di pahami bahwa unsur-unsur scope merupakan hal-hal pokok (actual points) yang harus di pelajari siswa di sekolah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tyler menyarankan agar para pengembang kurikulum sebaiknya dapat mengorganisasikan hubungan antar elemen atau unsur scope tersebut, yang berupa konsep, ilmu pengetahuan, dan berbagai ketermpilan yang harus diberikan pada siswa. Dewasa ini, masalah yang di hadapi adalah tidak terbatasnya konsep, pengetahuan, dan keterampilan tersebut.

2.      Pesatnya Perkembangan IPTEK
Sebagai ujung tombak dari implementasi kurikulum, sudah sewajarnya guru terus mencermati keterbatasan materi pelajaran. Ini di karenakan dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung terus berkembang dan meningkat sedmikian pesatnya.
3.      Penetapan Prosedur Tujuan
Caswel dan Campbell (Oliva, 1992) mengingatkan bahwa prosedur tujuan bkan hanya menyangkut pengalaman belajar, topik, maupun organisasi dan hubungan antar elemen, tetapi juga menyangkut lima tahapan berikut:
  • Penetapan tujuan yang inklusif 
  • Tujuan umum tersebut harus dirumuskan lagi ke dalam sejumlah pernyataan tujuan umum yang lebih “kecil”;
  • Sejumlah pernyataan tersebut diuraikan kedalam tujuan instusional 
  • Selanjutnya, tujuan institusional tersebut diuraikan ke dalam tujuan per mata pelajaran (bidang studi); dan 
  • Masing-masing tujuan per mata pelajaran atau bidang studi tersebut harus diuraikan ke dalam tujuan pembelajaran umum, yang selanjutnya di jabarkan lagi menjadi tujuan pembelajaran khususper pokok bahasan, dengan ketentuan bahwa pernyataan tersebut dapat diukur.
4.      Pengambilan Keputusan
Masalah lain yang harus dihadapi dalam penetuan scope kurikulum adalah pengambilan keputusan tentang jadi atau tidaknya scope tersebut di tetapkan sebagai cakupan sebuah kurikulum. Dalam pengambilan keputusan (decision makting) tersebut, Oliva mengajukan sejumlah pertanyaan yang harus di pertimbangkan, yaitu:
  • Apa yang sebenarnya di perlukan agar siswa dapat sukses di dalam masyarakat 
  • Kebutuhan-kebutuhan apa yang diinginkan oleh daerah, bangsa, negara dan dunia, dan 
  • Hal-hal esensial apa yang harus diajarkan   

2. Relevansi

Relevansi atau kesesuaian merupakan masalah lain yang cukup esensial dan harus mendapatkan perhatian dalam pengembangan kurikulum. Pengertian relevansi mengandung dan sekaligus mengundang banyak penafsiran. Ini dikarenakan kata relevansi itu sendiri harus dikaitkan dengan masalah dunia kerja (vocation), kependudukan (citizenship) hubungan antar pribadi (personal relationship), dan berbagai aktifitas masyarakat lainnya yang menyangkut budaya, social, politik, dan sebagainya. Meskipun demikian, jelas terlihat bahwa masalah relevansi berkembang menurut kegunaan dan kebermaknaan suatu kurikulum bagi orang dan masyarakat dan bangsa, bahkan bagi komunitas bangsa di dunia pada umumnya.

3. Keseimbangan 
Dalam sulitnya mendefenisikan kata balance atau keseimbangan, Olivia menunjukan beberapa variable yang harus di pertimbangkan seperti:
  1. Kurikulum yang berpusat pada siswa dan kebutuhan masyarakat (child-centered curriculum) dan kurikulum berpusat pada pelajaran (subject-centered curriculum) 
  2. Kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat (need assessments) 
  3. Pendidikan umum dan pendidikan khusus 
  4. Luas dan dalamnya kurikulum 
  5. Tiga domain penting pendidikan (kognitif, afektif, dan psikomotorik) 
  6. Pendidikan individual dan pendidikan masyarakat 
  7. Inovasi dan tradisi 
  8. Logis dan psikologi 
  9. Kebutuhan yang di harapakan dan tidak di harapkan siswa 
  10. Kebutuhan akademis yang di harapkan
  11.  Metode, pengalaman, dan strategi 
  12. Cepatnya perubahan dan pergantian waktu atau masa; 
  13. Dunia kerja dan permainan 
  14. Sekolah dan masyarakat sebagai sumber daya dalam pendidikan; 
  15. Disiplin kelembagaan; 
  16. Tujuan-tujuan kelembagaan; dan 
  17. Disiplin ilmu
Dikarenakan begitu banyaknya variabel yang menyangkut keseimbangan dalam pengembangan kurikulum tersebut, maka sudah di pastikan bahwa hal ini juga telah menjadi suatu masalah yang tidak dapat diabaikan begitu saja oleh para pengembangan kurikulum. Sebaliknya, justru merupakan masalah yang harus mendapat perhatian yang cukup maksimal.

4. Integrasi 

Para pengembang kurikulum harus peduli terhadap masalah pengintegrasian mata pelajaran. Pengintegrasian berarti memadukan, menggabungkan dan menyatukan antardisiplin ilmu.
Kurikulum adalah suatu hal yang terintegrasi. Kadar dan tingkat keintegrasian lebih di tentukan oleh dasar filosofis pengembang kurikulum, di bandingkan berdasarkan data empiris. Namun, karena tidak semua guru berpandang demikian, dengan alasan bahwa terdapat beberapa pelajaran yang harus diajarkan terpisah (separarted), maka kalangan progresif menawarkan agar para guru, sebagai pengembang kurikulum, memosisikan dirinya pada continuum (rangkaian).
Korelasi mata pelajaran yaitu hubungan diantara mata pelajaran yang masih ada unsur keterpisahannya seperti dalam pengajaran sejarah dan sastra, matematika dan sains, serta seni, music dan sastra. Korelasi akan menjadi integrasi jika identitas masing-masing di lepaskan.
Terdapat dua pandangan integrasi seperti yang di tawarkan oleh Taba. Pertama, seperti yang di bahas sekarang ini, terdapat hubungan horizontal antarpelajaran.
Para perencana kurikulum harus memutuskan model pengorganisasian yang akan digunakan, apakah korelasi atau integrasi mata pelajaran. Hal ini perlu diperhatikan adalah bahwa scope, relevansi, keseimbangan, dan integrasi merupakan suatu rangkaian yang erat sekali kaitannya satu sama lain.

5.      Sekuens (sequence)
Sekuens (sequence) berarti susunan atau urutan pengelompokan kegiatan atau langkah-langkah yang dilakukan dalam perencanaan kurikulum. Bila scope mengacu pada “apa” maka sekuens lebih mengacu pada “kapan” dan “ di mana” pokok-pokok bahasan tersebut di tempatkan dan dilaksanakan. Berikut adalah langkah-langkah sekuens.
1.      Mulai dari yang paling sederhana menuju ke yang kompleks;
2.      Menuruti alur kronologis;
3.      Balikan dari alur kronologis;
4.      Mulai dari keadaan geografis yang dekat sampai yang jauh;
5.      Dari jauh menuju dekat;
6.      Dari konkret ke abstrak;
7.      Dari umum ke khusus; dan
8.      Dari khusus menuju umum.
Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (Olivia, 1992) mengemukakan bahwa terdapat tiga konsep sekuens yaitu sekuens menurut kebutuhan, sekuens makro, dan sekuens mikro. Dalam proses sekuens, para pengemabang kurikulum harus memperhatikan tingkat kedewasaan, latar belakang pengalaman, tingkat kematangan dan ketertarikan atau minat siswa, serta tingkat kegunaan dan kesukaran materi pelajaran.

6.      Kontinuitas
Kontiunitas merupakan pengulangan terencana tentang isi, untuk mencapai keberhasilan. Tyler mendeskripsikan kontinuitas sebagai pengulangan vertical dari elemen atau unsur kurikulum
Pada dasarnya, prinsip kontinuitas menyerupai dengan apa yang disebut “spiral curriculum” yaitu pengenalan konsep, keterampilan, dan pengetahuan secara berulang. Dalam permasalahan kontinuitas ini, dibutuhkan tingkat keahlian yang tinggi dari perencana kurikulum, baik menyangkut pengetahuan terhadap materi pelajaran maupun pengetahuan tentang siswanya. Kontinutas bukanlah semata-mata pengulangan isi pelajaran, melainkan merupakan pengulangan yang kompleks dan canggih dalam upaya peningkatan hasil belajar.

7.      Artikulasi
Artikulasi diartikan sebagai pertukaran antara kelompok elemen atau unsur lintas tingkatan sekolah.
Oliver (Oliva,1992) menjelaskan pengertian artikulasi sebagai “artikulasi horizontal” atau “korelasi”, sedangkan kontinuitas sebagai “artikulasi vertikal”. Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa antara sekuens, kontinuitas, dan artikulasi terdapat kaitan satu dengan lainnya. Sekuens merupakan pengaturan unit-unit dan materi pelajaran secara logis dan kronologis menurut unit, lembaga dan tingkatannya. Kontinuitas merupakan rencana introduksidan reintroduksi unit-unit materi yang sama di berbagai tingkatan dalam upaya meningkatkan pemahaman yang kompleks dan komprehensif. Adapun artikulasi merupakan rencana sekuens unit-unit materi pelajaran tersebut secara lintas tingkatan.

8.      Kemampuan Transfer (Transferability)
Segala hal yang di berikan sekolah pada hakikatnya merupakan “ proses pentransferan nilai”, maksudnya apapun yang di pelajari di sekolah seharusnya dapat diaplikasikan diluar sekolah, saat siswa sudah menamatkan pendidikannya. Dengan demikian, proses pendidikan disekolah harus dapat memperkaya kehidupan siswa.
Para ahli pendidikan seperti Thorndike, Daniel dan L. N. Tanner, serta Taba menyepakati bahwa jka guru hendak mentransfer nilai-nilai tersebut, maka terlebih dahulu harus diperhatikan prinsip-prinsip umum dari proses transfer yaitu :
1.      Transfer merupakan “hati nurani” pendidikan;
2.      Proses transfer memungkinkan untuk dilakukan;
3.      Proses transfer dimulai dari situasi yang lebih dekat, ke situasi luar kelas yang lebih jauh dan luas;
4.      Hasil transfer akan lebih bermakna jika guru membantu siswa dalam menderivsai, generalisasi, serta menetapkan generalisasi tersebut; dan
5.      Secara umum, dapat dikatakan bahwa ketika siswa memperoleh pengetahuan bagi dirinya, proses transfer tersebut telah berhasil.
Transferability merupakan prinsip dari pengajaran dan juga prinsip dari kurikulum. Pada saat membicarakan metode mengajar transferability, berarti kita memasuki wilayah proses pengajaran. Pada saat menganilisis hal yang ditransferkan, maka kita telah memasuki wilayah kurikulum. Oleh karena itu, para pengembang kurikulum harus menentukan tujuan, menyeleksi isi, atau materi, dan memilih strategi pengajaran yang mengarah pada pendayagunaan proses transfer secara maksimal. Selanjutnya, dalam perencanaan evaluasi kurikulum juaga harus dimasukan ukuran tingkatan transfer dari berbagai segemen dalam kurikulum.

B.     Beberapa Masalah Kurikulum
Dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum, beberapa masalah berikut perlu dipahami secara seksama.
1.      Berbagai masalah yang berhubungan dengan tujuan dan hasil-hasil kurikulum yang di harapkan oleh sekolah, seperti :
a.       Untuk siapa kurikulum itu disediakan;
b.      Apakah kurikulum tersebut bermaksud mendidik siswa agar mampu mengendalikan diri, atau agar mereka mampu mengikuti perubahan social;
c.       Apakah kurikulum bersifat mendoktinasi sesatu;
d.      Apakah kurikulum bermaskud mempersiapkan siswa bagi masa depannya, atau untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang dirasakan sekarang ini;
e.       Apakah kurikulum memberikan pelayanan terhadap masyarakat atau perorangan;
f.       Apakah kurikulum berkenanan dengan  permasalahan yang kontroversial
g.      Apakah kurikulum disesuaikan dengan minat dan kebutuhan perorangan atau umum
h.      Apakah kurikulum berkenan dengan pendidikan umum atau dengan pendidikan khusus;
i.        Apakah kurikulum dikaitkan dengan usaha pencapaian tujuan-tujuan pendidikan; dan
j.        Apakah tujuan-tujuan tersebut diperbaiki guna mencapai hasil pendidikan yang lebih baik
2.      Berbagai masalah yang berhubungan dengan isi dan organisasi kurikulum yang terdiri atas :
a.       Ukuran yang digunakan dalam memilih bahan dan pengalaman-pengalaman kurikuler.
b.      Apakah kurikulum disusun berdasarkan mata pelajaran atau pengusahaan adanya kolerasi.
c.       Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kurikulum tersebut,
d.      Jenis-jenis kegiatan dan pengalaman yang terdapat dalam kurikuler
e.       Jenis kurikulum yang digunakan
f.       Pengalaman-pengalaman yang diwajibkan dan yang bersifat pilihan
g.      Apakah dalam kurikulum terdapat-pelajaran khusus
h.      Berbagai pelajaran yang diperlukan untuk kenaikan kelas; dan
i.        Cara perbaikan seleksi dan organisasi bahan-bahan pelajaran dan pengalaman.
3.      Masalah yang berhubungan dengan proses penyusunan dan revisi kurikulum seperti :
a.       Cara pengadaan artikulasi dan korelasi
b.      Awal penyusunan dan perevisian kurikulum,
c.       Sumber-sumber informasi yang dapat dimanfaatkan untuk penyusunan kurikulum.
d.      Pihak yang dapat berpartisipasi dalam perubahan dan penyusunan kurikulum
e.       Pihak yang akan memberikan latihan dalam pengelolaan kurikulum dan dalam bentuk pelaksanaan latihan tersebut
f.       Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam mengadakan perubahan perubahan (revisi) kurikulum secara menyeluruh, dan
g.      Cara perbaikan proses penyusunan kurikulum.

C.     Peran Guru Dalam Pengemabangan Kurikulum
Dalam studi tentang ilmu mengajar dan kurikulum yang, pembahasan mengenai permasalah yang dialami guru senantiasa mendapat tempat tersendiri. Ini dikarenakan guru mengemban peran yang sangat penting dalam keberhasilan proses pendidikan. Bahkan, berdasarkan pandangan yang ada sekarang ini, betapun bagus dan indahnya kurikulum, keberhasilan kurikulum tersebut pada akhirnya bergantung pada masing-masing guru.
Oleh karena itu, masalah profesi keguruan, tantangan-tantangan yang kemungkinan besar dihadapi oleh guru-guru profesional, peranan guru dalam pengembangan kurikulum dan masalah pendidikan guru, juga perlu mendapat pembahasan tersendiri.
Setiap guru mengemban tanggung jawab secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, pengadministrasian, dan perubahan kurikulum. Sejauh mana keterlibatan guru akan turut menentukan keberhasilan pengajaran di sekolah.
Sejauh manakah peran guru dalam perencanaan kurikulum? Kurikulum disusun oleh suatu lembaga tertentu tertentu (di Indonesia, kurikulum disusun oleh BP3K), yang umumnya dirancang oleh ahlikurikulum dengan bantuan ahli psikologi belajar dan ahli bidang studi. Para guru bidang studi yang dianggap telah memiliki pandangan yang luas biasanya diikutsertakan dalam penyusunan kurikulum tersebut. Kepada mereka, dimintakan saran-saran sesuai pengalaman mereka dalam melaksanakan kurikulum di sekolah
Pada dasarnya, para guru itulah yang paling mengetahui berbagai masalah dalam kurikulum yang telah dilaksanakan. Oleh sebab itu, berbagai saran mereka sangat dibutuhkan dalam perencanaan atau penyusunan kurikulum baru, tentu saja melalui prosedur langsung maupun tidak langsung. Melalui rapat sekolah, guru-guru memberikan banyak bahan yang berharga dalam penyusunan kurikulum. Selanjutnya, secara bertingkat bahan-bahan tersebut disampaikan kepada suatu panitia khusus (Panitia Pembina Kurikulum) yang kemudian dijadikan bahan pembahasan dalam berbagai pertemuan atau lokakarya penyusunan kurikulum. Dengan demikian, kurikulum yang baru disusun akan lebih cocok dengan kebutuhan sekolah dan kebutuhan pelaksanaan kurikulum oleh guru.
Keberhasilan kurikulum sebagian besar terletak di tangan guru, selaku pelaksana kurikulum. Para guru bertanggung jawab sepenuhnya dalam pelaksanaan kurikulum, baik secara keseluruhan maupun sebagai tugas yang berupa penyampaian bidang studi atau mata pelajaran yang sesuai dengan program yang di rancang kurikulum. Untuk itu, guru harus berusaha agar penyampaian bahan-bahan itu dapat berhasil secara maksimal. Dikarenakan pokok-pokok bahasan dalam kurikulum tersebut hanya dalam tataran garis besarnya saja, maka guru hendaknya berusaha agar sedapat mungkin melakukan penyesuaian dengan kebutuhan setempat. Karena itu, peran guru adalah sebagai pengajar, pembimbing, manajer, maupun ilmuan, yang dituntut mencurahkan segala kemampuannya sehingga pelaksanaan kurikulum tersebut dapat berhasil. Selain itu, setiap guru dituntut untuk memahami sebaik mungkin tujuan, isi dan organisasi serta system penyampaian sehingga kualitas dan kuantitas hasil pengajaran yang di berikan mencapai target yang dikehendaki.
Bagaimana peran guru sebagai pengelola kurikulum? Sebagai pengelola kuriikulum, guru bertanggung jawab antara lain membuat perencanaan mengajar ( rencana tahunan, rencana bulanan, rencana permulaan mengajar dan rencana harian) baik dalam bentuk perencanaan unit maupun dalam pembuatan model satuan pelajaran. Selain itu, guru harus berusaha mengumpulkan dan mencari bahan dari berbagai sumber, menyediakan perlengkapan atau media pengajaran, mengadakan komunikasi dan konsultasi dengan berbagai badan dan institusi yang mungkin dapat membantunya dalam pelaksanaan kurikulum, mengumpulkan data tentang partisipasi murid dalam mengikuti pelajaran atau berbagai kegiatan kurikuler lainnya, ikut serta menyusun jadwal pelajaran dan mengikuti berbagai pertemuan yang diselenggarakan oleh sekolah dan para pengawas, serta membuat laporan tentang hasil kegiatan kurikulum yang telah dilakukan. Tugas sebagai pengelola kurikulum sejalan dengan peran guru sebagai administrator. Peranan ini erat dengan kaitannya dengan peranan lainnya, yang sekaligus menunjang pembinaan dan pengembangan kurikulum disekolah.
Peran apakah yang dapat dilakukan guru dalam perubahan kurikulum? Kurikulum merupakan bagian dari usaha pembaruan dalam usaha pendidikan. Oleh karena itu, proses perubahan pendidikan tersebut sudah tentu akan melibatkan banyak pihak. Selaku komponen pendidikan, mau tidak mau guru tentu terlibat dalam pembaruan yang sedang dilakukan dalam pendidikan. Guru harus ikut aktif pula dalam pembaruan kurikulum yang sedang dilakukan dalam pendidikan. Guru harus ikut aktif pula dalam perubahan dan pengembangan kurikulum untuk memberikan berbagai input berupa saran dan pengalamannya.
Dalam kerangka peruabahan kurikulum, umumnya dilakukan terlebih dahulu penilaian terhadap kurikulum yang sedang berjalan, guna melihat berbagai keunggulan dan kelemahan yang ada, ditinjau dari aspek ( filosofis, sosiologis, psikologis, metodologis, dan lain-lain). Berbagai saran dan pengalaman guru sangat di perlukan, bahkan sjumlah guru yang dianggap sangat berpengalaman sering diikut sertakan dalam panitia pembaruan, bersama para spesialis dan pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Departemen Pendidikan. Jadi jelaslah, keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum sangat di perlukan.